Aku menyukainya. Laki laki dengan senyuman manis yang hampir tak pernah sirna dari wajahnya. Ingat sekali bagaimana pertemuan pertama kami kala itu.
Aku menemani adik perempuanku ke perpustakaan yang lokasinya tak jauh dari kota. Kemudian Ia dengan kameranya, berdiri di hadapanku sambil menyerahkan sebuah buku catatan.
“Punyamu, mbak?” teringat jelas di memori kepalaku, bagaimana suara lembutnya terdengar nyaman masuk ke telinga.
Aku menjawab pertanyaan itu sambil menggeleng, membalas tatapan teduhnya yang menatapku.
Ini bagian lucu menurutku. Karena aku berpikir pertemuan kita hanya sampai pada hari itu. Ternyata aku salah. Tepat seminggu kemudian, seseorang murid baru memasuki kelasku, menduduki bangku kosong yang ada di belakangku. Langit Biantara namanya. Laki laki ber kamera yang aku temui beberapa waktu lalu.
“Hai, kamu laki laki ber kamera yang ada di perpustakaan waktu itu, kan?” Aku menyapanya lebih dahulu dengan menyiratkan nada kebahagiaan.
Dia tertawa kemudian mengangguk sebelum berkata, “Kamu ingat ya, hahaha”
“Mana mungkin aku bisa lupa, gini gini ingatanku bagus, tau!” kataku, ikut tertawa juga.
Semenjak hari itu, kami mulai dekat.
Aku beberapa kali main ke rumahnya, bertemu dengan kedua orang tua Langit, atau bahkan bermain dengan adiknya. Atau sebaliknya Langit yang bermain ke rumahku.
Seperti saat ini, kami berdua sedang duduk di teras depan rumahku sambil menatap hujan yang turun. Aku menceletuk, “Aku bosan deh, pengen mandi hujan.”
Langut menoleh, tersenyum senang.
“Yuk, kita mandi hujan! Aku pengen mandi hujan sambil lari-larian sama kamu.”
Aku tidak menyangka dia akan menyetujui celetukanku.
“Ih, tapi Aku malu. Masa udah besar, masih mandi hujan sambil lari-larian.” Aku awalnya menolak, karena jujur aku takut malu.
“Memang ada peraturan kalau hanya anak-anak yang boleh mandi hujan? Malah menurutku, orang-orang dewasa juga butuh berdiri di bawah guyuran air hujan.”
Aku mengernyit heran. “Kenapa gitu?”
Langit mengadah ke atas. “Berdiri di bawah hujan itu tempat menangis paling enak. Gak ada yang tau kalau kita lagi nangis. Cuma diri kita sendiri sama Tuhan aja. Juga, mandi hujan itu bisa bikin kita lebih rileks. Rintik-rintik hujan yang jatuh di kepala buat pikiran makin nyaman.”
“Kan ada shower, Ngit, buat apa mandi hujan gini.” Aku membalas perkataannya.
“Sensasinya beda, Athaya.” Langit beranjak dari kursi, membasahi tubuhnya dengan air hujan.
“Mau ikutan mandi hujan, enggak?!” teriaknya, mencoba mengalahkan suara bisingnya hujan.
Karena tertarik dan penasaran, aku pun mengangguk dan menyusulnya di bawah rintik hujan. Ternyata benar, sensasi mandi hujan dengan shower berbeda……
Cerita lengkap nya kalian bisa kunjungi Instagram klise.inscada atau klik link dibawah ini
https://www.instagram.com/p/Cz3ovN5xk1I/?igsh=ODFxNmR5b2RwanVn
Tinggalkan Komentar